Langit

Meski langit yang congkak mulai rapuh. Tatapannya masih menyimpan bara dendam yang menyala. Di dalam genggaman masih menyembunyikan bongkah lara yang meradang. Dengan sekilas saja jika ada yang menyebut namanya. Ia tak ragu untuk meminjamkan pukulannya untuk mendarat di wajah penyebut namanya. Sebut saja dia nama yang asing. Nama yang bermuara pada ketidakpuasan tanya. Yang raganya dikendalikan oleh deretan huruf-huruf berkaki banyak dari tempat yang dikenal sebagai kaldera rasa.

Aku sendiri tak begitu mengerti. Ia bisa dengan mudah tampak di depan mata, menyusup melalui pori-pori kulit dan berenang pada aliran darah. menyusuri otak hingga jari-jari kaki. Pernah ia berbisik pelan. Tinggalkan saja, kamu dan masa yang akan datang takkan bisa jauh dari ketiadaan. Setelah berbisik ia menghilang ditelan malam dengan meninggalkan sendawa yang menggelegar, membuat retak gelas-gelas kaca di atas meja beranda. Serupa nada kecewa berbalut luka?

Mulanya ia tak sebegitu murka. Namun sebotol minuman penyegar telah menyegarkan kembali ingatannya perihal bumi yang menunggunya. Langit begitu lengah. Diabaikannya pertanda itu. Hingga datang beribu kata dengan tanda baca yang tak juga ia mengerti padahal sudah berkali-kali mengejanya dengan perlahan dan hati-hati. Tapi apa daya? Langit tak pernah tahu kehendak bumi. Langit hanya mengerti ketika bumi sudah tinggal cerita. Dicampakkan dengan buai-buai asmara bermuka dua.

Langit congkak mulai rapuh. di hadapannya kini ada kesunyian pasti. dan kesenyapan tatapan. Langit kembali mengeja, huruf demi huruf agar didapatinya arti yang bermakna. Perihal menunggu atau segera melaju.

kamarhitam, dengan pilek yang tak reda, 7JUl13

*zn
anakwayang

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.